Menempati kursi kayu yang sebelumnya diisi pasangan bule tadi. Susah payah bermotor ke Pananjakan 1, namun saat jam emas harusnya tiba, hanya mendung dan kabut tebal yang mereka dapati. Cuaca mulai berawan pada malam harinya. Sebelum Subuh, saya masih menghangatkan tubuh di salah satu warung di Pananjakan 1. Saat itu sudah dua pekan berjalan. Kalau saja saya punya ilmu meringankan tubuh, saya akan terbang dan berenang di atasnya.
Transportasi yang di gunakan harus aman, mengingat jalan menuju kawasan wisata Bromo bisa di bilang cukup ekstrim untuk tanjakan dan turunan serta jalan yang agak sempit. Usai salat Subuh, saya menyusuri jalan ke arah timur dari tempat parkir. Untuk mendapatkan pemandangan yang sempurna Sunrise Gunung Bromo adalah pada musim kemarau, sekitar bulan Mei — Oktober. Namun, jika harus menggambarkan Bromo dengan satu kata saya memilih sunrise. Meskipun begitu, saya tak ingin kehilangan momen.
Bromo saat kemarau Photo by Rifqy Faiza Rahman Kesempatan kedua berkunjung ke Bromo adalah pada pertengahan bulan Mei 2014. Photo by Rifqy Faiza Rahman Sementara di bawah, lautan pasir sedang berselimut kabut cukup tebal. Sebagian besar daerah di Indonesia juga belum menunjukkan tanda akan segera turun. Suhu udara mencapai 25 derajat celsius dan kelembapannya 70 persen. Belakangan saya sadar, Bromo terlalu luas untuk dijelajahi. Di luar, suara derap kaki wisatawan bersahutan. Mata saya terpaku pada sebuah komposisi yang cukup unik.
Indra mengungkapkan, suhu tertinggi ada di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sejak sepekan terakhir, kawasan wisata Bromo di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, dilanda cuaca ekstrem. Gunung Bromo identik dengan kawah, lautan pasir, pasir berbisik, Roro Anteng, Joko Seger, orang Tengger, hari raya Karo atau Pura Luhur Poten. Memulai hari dengan beragam aktivitas. Mengingat suhu di Gunung Bromo sangat dingin. Fajar yang keemasan… Kabut yang melayang rendah… Asap yang terus mengepul… Langit pagi yang membiru… Begitulah Bromo. Semoga tips wisata diatas bisa menjadikan referensi panduan anda untuk berwisata ke gunung bromo dengan nyaman dan aman serta mendapatkan kesan yang indah saat berliburan.
Kesempatan pertama, di penghujung bulan Oktober 2013. Untuk Bus besar kapasitas 55 orang tidak bisa naik sampai desa Cemara Lawang. Apalagi saat dinihari sekitar jam 4 pagi mengunjungi Penanjakan. Dari hitam gelap beranjak benderang. Musim kemarau tak menjamin matahari terbit melenggang penuh pesona dibandingkan musim penghujan. Melongok keluar warung, ternyata seberkas cahaya jingga sudah mulai muncul dari balik Gunung Argopuro.
Suhu udara mencapai 0 °C, bahkan hingga -3 °C. Dengan seperti itu, suhu udaranya 23 derajat celsius, dengan kelembapan udaranya 75 persen. Musim kemarau, udara cukup kering. Angin pada siang ini masih berhembus mengarah ke tenggara, dengan kecepatan angin yang cukup kencang, 19 kilometer per jam. Tak harus ke Pananjakan jika ingin merasakan pengalaman lain untuk menyambut pagi. Di atas Cemoro Lawang, langit memancar bagaikan aurora. Pagi tak akan pernah sama.
Saya sendiri cukup kesulitan mendapatkan posisi yang tepat untuk meletakkan tripod. Setiba disana, bagian terdepan anjungan pandang yang paling dekat dengan pagar telah penuh. Memasuki waktu siang, cuaca diprakirakan masih cerah namun berawan. Ia menyebutkan, kemarau di wilayah Sumatera bagian selatan diprediksi terjadi hingga pertengahan Oktober. Wajah masa penghujan Bromo Photo by Rifqy Faiza Rahman Ada dua kesempatan di mana saya cukup beruntung mendapatkan momen matahari terbit.
Bromo sedang batuk saat itu. Bromo, sebuah gunung dengan 1000 cerita. Tukang ojek hilir mudik bergantian menawarkan tumpangan untuk turun ke lautan pasir, beberapa penyedia jasa kuda pun tak kenal lelah menawarkan untuk menunggangi kuda bertubuh kekar. Seperti gayung bersambut, pasangan bule yang berdiri di belakang mulai meninggalkan posisinya. Saya beranjak ke samping kantor taman nasional. Merekam rona langit dari sisi lain. Langit yang semula biru gelap mulai terang.
Kawah gunung yang dikelilingi kaldera purba. Namun, ada beberapa daerah yang sudah mulai turun hujan seperti di sebagian Sumatera bagian utara, sebagian Kalimantan, bagian tengah Sulawesi, serta sebagian Papua tengah dan barat. Walau hanya sekadar menyeduh teh panas dan mencecap semangkuk mi rebus panas. Bahkan saya berani berkata setiap hari pun pagi akan terlihat berbeda. Menyempatkan diri merekam sang surya yang telah bangun dari tidur lelapnya.